Oleh Dr. Elfis,
M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat besar
peranannya bagi kepentingan hidup manusia dan lingkungan hidup. Berdasarkan
pola pemanfaatan lahan dari hasil rembugan Tata Guna Hutan Kesepakatan ,
tercatat bahwa jumlah luas hutan di Indonesia adalah 143.970.615 ha, yang
terdiri dari hutan tetap 113.433.215 ha dan hutan produksi yang dapat
dikonversi 30.537.400 ha. Berdasarkan fungsinya, hutan tetap terdiri dari hutan
lindung seluas 30.316.100 ha, hutan suaka alam dan hutan wisata 18.725.215 ha,
hutan produksi terbatas 30.525.300 ha dan hutan produksi tetap 33.886.600 ha
(Dephut, 2004).
Berfokus pada pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap
pada mulanya eksploitasi hutan melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai
dari hutan yang berpotensi tinggi pada lapangan bertopografi relatif ringan
yang secara ekologis tidak mudah terganggu keberadaanya. Akan tetapi karena
tekanan permintaan akan hasil hutan terus meningkat, maka kegiatan pembalakan
dewasa ini sudah mencapai tempat-tempat yang jauh dan sulit medannya, bahkan
pada areal dengan katagori hutan produksi terbatas (Dephut, 1998).
Peranan faktor lingkungan erat hubungannya dengan tindakan
manusia terhadap keseimbangan ekosistem sumber daya hutan. Gangguan berupa
eksploitasi hutan adalah gangguan yang cukup drastis terhadap keseimbangan
ekosistem hutan terutama di tempat-tempat yang ekologisnya rawan (Sist dan
Bertault, 1998; Shariff dan Miller, 1991; Soerianegera, 1992).
Akan tetapi di sisi lain, pemanfaatan hutan yang optimal
juga penting untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan yang makin
besar. Dengan demikian, gangguan kegiatan eksploitasi terhadap ekosistem sumber
daya hutan masih dapat diperkenankan, asalkan terbatas pada intensitas dimana
batas daya dukung sumber daya hutan belum terlampaui. Batas-batas tersebut
berupa batas toleransi perubahan faktor-faktor lingkungan hutan yang masih
mencerminkan keseimbangan dinamis dari ekosistem sumber daya hutan.
Bertolak dari bagan sederhana tersebut, diperoleh gambaran
bahwa gangguan pada salah satu unsur ekosistem akan mengakibatkan gangguan pula
pada unsur lainnya karena adanya hubungan timbal balik diantara ketiga unsur
ekosistem tersebut.
Gangguan terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena adanya aplikasi satu atau lebih gatra pembalakan yang menyebabkan kemampuan areal tersebut untuk berproduksi atau beregenerasi menjadi turun atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut dapat berupa menurunnya populasi dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa, berubahnya aliran mantap (water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan dan sifat fisik tanah serta berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan ekosistem hutan berubah. Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan holocoeonetik, yaitu bila suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan Indrawan, 1984; Indrawan, 2000).
Gangguan terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena adanya aplikasi satu atau lebih gatra pembalakan yang menyebabkan kemampuan areal tersebut untuk berproduksi atau beregenerasi menjadi turun atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut dapat berupa menurunnya populasi dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa, berubahnya aliran mantap (water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan dan sifat fisik tanah serta berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan ekosistem hutan berubah. Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan holocoeonetik, yaitu bila suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan Indrawan, 1984; Indrawan, 2000).
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana
mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan
pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil
hutan lainnya (Dephut, 1998). Sistem silvikultur pada hakekatnya merupakan
program perlakuan untuk seluruh rotasi. Batasan ini membantu menjamin beberapa
keseragaman dan kontinuitas jangka panjang dari perlakuan yang diterapkan.
Berdasarkan hal tersebut, perhatian harus difokuskan pada langkah genting
(crucial step) dari regenerasi tegakan, oleh adanya pengertian yang keliru
bahwa sistem silvikultur adalah sama dengan metode penebangan regenerasi hutan,
yang dapat menyebabkan tegakan menjadi hilang karenanya (Soerianegara dan
Indrawan, 1984; Dephut, 1998; Sist dan Bertault, 1998).
Perkembangan sistem silvikultur di Indonesia masih terus
berlangsung setelah Direktorat Jenderal Kehutanan berubah statusnya menjadi
Departemen Kehutanan pada tahun 1983. Dalam rangka penyempurnaan sistem
silvikultur untuk pengusahaan hutan produksi alam di Indonesia, sesuai dengan
buku Rencana Pengembangan Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/1990 – 1993/1994,
Menteri Kehutanan telah mengeluarkan keputusan Nomor 485/Kpts/II/1989 tanggal
18 September 1989 tentang sistem silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi Alam di
Indonesia. Dalam keputusan tersebut telah ditetapkan antara lain bahwa
pengelolaan hutan produksi alam dapat dilakukan dengan sistem silvikultur
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan alami Alam
(THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan alami Buatan (THPB) (Dephut, 1998).
Pelaksanaan sistim silvikultur TPTI di hutan rawa gambut
didasarkan pada Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor
564/Kpts/IV-BPHH/1989.
Penetapan sistim silvikultur TPTI yang ada harus diselaraskan dengan tipe hutan yang bersangkutan. Hutan rawa gambut seperti halnya tipe-tipe hutan lainnya (kecuali hutan mangrove yang berstatus hutan produksi) pengelolaannya masih berpedoman pada sistim silvikultur TPTI yang selama ini diterapkan untuk hutan tanah darat/kering. Mengingat kondisi ekologisnya berbeda maka perlu dibuat sistim silvikultur tersendiri (Sutisna, 1985; Soerianegera dan Indrawan, 1984; Sist dan Bertault, 1998).
Penetapan sistim silvikultur TPTI yang ada harus diselaraskan dengan tipe hutan yang bersangkutan. Hutan rawa gambut seperti halnya tipe-tipe hutan lainnya (kecuali hutan mangrove yang berstatus hutan produksi) pengelolaannya masih berpedoman pada sistim silvikultur TPTI yang selama ini diterapkan untuk hutan tanah darat/kering. Mengingat kondisi ekologisnya berbeda maka perlu dibuat sistim silvikultur tersendiri (Sutisna, 1985; Soerianegera dan Indrawan, 1984; Sist dan Bertault, 1998).
Pada waktu disusunnya sistim silvikultur TPTI (semula TPI)
didasarkan pada pengetahuan tentang komposisi, struktur dan pertumbuhan hutan
tanah kering dengan dasar riap jenis-jenis Dipterocarpaceae. Jadi penerapan
sistim silvikultur TPTI untuk tipe-tipe hutan lainnya, seperti hutan rawa,
hutan rawa gambut dan tipe hutan lain masih memerlukan penelitian sinekologi
(komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis, permudaan alami, tumbuh
dan riap, serta fenologi) dan autoekologi (syarat-syarat keadaan tempat tumbuh,
siklus hara mineral, dan siklus air). Hubungan kesuburan tanah dan iklim dengan
produktivitas hutan rawa gambut belum banyak terdokumentasi (Sutisna, 1985;
Nguyen, 1998; Elias et al., 1997; Sist dan Bertault, 1998).
Penebangan hutan alam dengan sistem silvikultur TPTI jelas
akan menurunkan kelimpahan dan keragaman jenis dalam hutan alam sampai dalam
bentuk perubahan struktur, bentuk komunitas flora-fauna dan berakhir pada
gangguan terhadap ekosistem (Soenarno, 1996). Pada hutan alam, penebangan
dengan sistim TPTI pada pohon-pohon yang berdiameter ³
50 cm akan berpengaruh pada struktur tegakan dan komposisi yang meliputi
keanekaragaman jenis, indek kesamaan komunitas, kerapatan, frekuensi dan
dominasi. Struktur dan komposisi hutan sebelum ditebang akan mempengaruhi
struktur dan komposisi hutan bekas tebangan, makin banyak jumlah jenis pohon
yang hilang berarti tidak menguntungkan pada kelestarian jumlah jenis tumbuhan
di hutan alam (Soenarno, 1996; Indrawan, 2000; Siregar et al., 2000).
Ada kecendrungan yang sangat merugikan dalam pelaksanaan
sistem silvikultur TPTI yang tidak terkontrol yaitu pada pelaksanaan permudaan
alam dan buatan yang hanya mementingkan pada jenis-jenis komersil, usaha
permudaan alam dan buatan yang didasarkan hanya pada jenis komersil yang
ditebang dan ini umumnya berlaku pada sistem silvikultur TPTI, akan dapat makin
merubah komposisi jenis dihutan alam bekas tebangan (Soenarno, 1996). Apabila
sistem silvikultur TPTI dan pengembangannya selalu mengutamakan permudaan
buatan dan alam jenis komersil saja tanpa memperhatikan jenis non komersil yang
hancur dan rusak sewaktu penebangan dan penyaradan kayu melalui jalan sarad
dilakukan, maka areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bekas TPTI nantinya akan
cendrung mengarah ke hutan dengan tegakan yang hanya terdiri dari beberapa
jenis komersil saja, maka fungsi HPH dalam melestarikan keanekaragaman hayati
tidak dapat diharapkan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al.,
2000).
Di sisi lain, pedoman TPTI tidak memuat standar baku yang
menerangkan tingkat ukuran dan toleransi dari suatu dampak. Misalnya dampak
terhadap tegakan tinggal, iklim mikro maupun sifat tanah. Padahal, informasi
ini penting untuk mendapatkan ketegasan bagi pengelolaan hutan bekas tebangan
ini lebih lanjut agar potensialnya minimal sama dengan sebelumnya.
Pembukaan wilayah hutan dalam kegiatan hutan alam adalah
semua aktifitas/ kegiatan yang ditujukan untuk pengelolaan hutan dan
transportasi hasil hutan keluar dari areal hutan yang harus disertai pula
usaha-usaha untuk mengurangi atau menghindari kerusakan (Elias, 1994).
Transportasi pengakutan kayu tebangan (logging
transportation) pada pembukaan wilayah hutan di areal hutan rawa yang mempunyai
topografi kurang dari 3 % yang digunakan adalah dengan sarana jalan rel kereta
lokomotif. Pembuatan jalan rel dilakukan karena jika mempergunakan jalan darat
(jalan tanah) tidak akan bisa dilalui kendaraan, hal ini disebabkan terlalu
banyak air (becek/banjir) akibat dari sifat tanah gambut yang lunak dan berair
(Endom dan Basri, 2001).
Pembuatan jalan dengan menggunakan jalan rel dan jalan
sarad ongkak dengan sistim kuda-kuda (logging extraction manual system) membawa
konsekuensi berupa penggunaan kayu untuk bantalan rel dan bantalan kuda-kuda
ongkak, dan umumnya kayu-kayu yang digunakan adalah kayu-kayu dari pohon berdiameter
kecil dan jenis-jenis kayu non komersial. Pembuatan jalan ini juga berakibat
terbentuknya koridor di hutan yang cukup lebar yang akan berpengaruh terhadap
iklim mikro hutan.
Perubahan iklim dalam areal HPH berbentuk iklim mikro.
Faktor-faktor iklim yang dapat berubah adalah suhu udara, suhu tanah,
kelembaban udara dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam hutan (Koesmawadi,
1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).
Perubahan iklim mikro ini akan cukup besar terjadi pada areal hutan yang terbuka untuk pengakutan kayu melalui jalan rel, jalan sarad, tempat penumpukan kayu (log pond), dan lokasi pemukiman (base camp). Areal ini akan mengalami perubahan iklim mikro secara terus menerus selama masih digunakan.
Perubahan iklim mikro ini akan cukup besar terjadi pada areal hutan yang terbuka untuk pengakutan kayu melalui jalan rel, jalan sarad, tempat penumpukan kayu (log pond), dan lokasi pemukiman (base camp). Areal ini akan mengalami perubahan iklim mikro secara terus menerus selama masih digunakan.
Perubahan iklim mikro yang kalau dilihat dari angka
perubahan atau persentase perubahan mungkin terlihat kecil tetapi pengaruh pada
kehidupan tumbuhan dapat sangat besar, terutama beberapa jenis tumbuhan yang
sangat sensitif terhadap perubahan iklim mikro, perubahan struktur tegakan dan
komposisi jenis ini akan mempengaruhi keadaan habitat yang berkecendrungan
terjadinya perubahan perubahan ekologissnya (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000;
Dalfelt, et al., 2000)
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar