Sabtu, 16 Juni 2012

KEANEKARAGAMAN DUNIA TETUMBUHAN (Sebuah Pengantar Taksonomi Tetumbuhan Tropik)



 
Tim penyunting
Mien A. Rifai
Rugayah
Himmah Rustiami
Ahmad Dwi Setyawan
Fitmawati






Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
2007

PRAKATA

Ternyata selama ini taksonomi tumbuhan sebagai salah satu cabang ilmu biologi tidak banyak menarik minat mahasiswa Indonesia untuk mempelajarinya lebih mendalam. Hal ini dikarenakan selain teknik pengajarannya yang tidak menarik, membosankan, juga buku-buku ajar yang ada saat ini tidak bisa mewakili kondisi tetumbuhan asli Indonesia yang bisa dijumpai dengan mudah di sekitar lingkungan kita. Untuk itu diperlukan acuan baru buku sistematika termasuk taksonomi tumbuhan yang bisa menjadikan mahasiswa Indonesia tertarik dan jatuh hati dengan pelajaran taksonomi tumbuhan.
Dalam beberapa kongresnya Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI) telah memilih suku-suku tumbuhan yang harus dikuasai mahasiswa Indonesia, baik yang belajar biologi, maupun pertanian, hortikultura, kehutanan, peternakan, farmasi, lingkungan dan juga arsitektur lansekap. Sesuai dengan perkembangan ilmu, dianggap perlu pula untuk hanya mengkhususkan pada tetumbuhan hijau, mulai dari ganggang, lumut kerak, lumut, paku, tumbuhan berunjung dan tumbuhan berbunga.
Pendekatan penulisan buku ajar ini tidaklah klasik karena disusun dengan memilih satu dua tumbuhan sekitar yang umum dan mewakili untuk dijadikan inti tipologi suku yang harus dipahami dan diketahui mahasiswa Indonesia. Sebagai akibatnya akan terbangun sistem klasifikasi dan nama ilmiah yang telah dihayati maknanya sehingga tidak harus dihafalkan di luar kepala. Selanjutnya mahasiswa akan dituntun dalam mencari sendiri informasi lanjutan yang diperlukannya sesudah mereka meninggalkan bangku perkuliahan dan terjun ke tengah masyarakat.  Dengan demikian, secara efisien dan efektif mereka akan berkemampuan menggunakan buku-buku pegangan yang ada seperti Flora Malesiana, Flora of Java, De Nutige Planten van Indonesie (Tetumbuhan Berguna Indonesia), PROSEA Handbooks,  Weedflora of Ricefields dan bahan-bahan lain seperti CD-ROM.
Bogor, Desember 2007
     Tim Penyunting
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Penyumbang Naskah

BAB 1. Pendahuluan
BAB 2. Ganggang
BAB 3. Lumut
BAB 4. Paku
BAB 5. Tumbuhan Berunjung (Gymnospermae)
BAB 6.  Tumbuhan Berbunga (Angiospermae)
   Basal Famili
   Magnoliid Kompleks
   Tumbuhan berkeping Tunggal (Monocotiledonae)
   Tumbuhan Berkeping Dua (Dycotiledoneae/Eudicot)
Glosarium
Indeks
Daftar Pustaka












BAB I
PENDAHULUAN

Penelitian dan pemahaman tentang keanekaragaman dan kedudukan suatu takson dalam klasifikasi tidak pernah terlepas dari ilmu taksonomi. Taksonomi adalah ilmu dasar bagi pengembangan ilmu biologi lainnya dimana ilmu-ilmu biologi lainnya sangat bergantung pada hasil penelitian taksonomi. Ini merupakan posisi yang unik karena pada satu sisi taksonomi merupakan suatu ilmu sintetis yang menguntungkan penelitian yang dilakukan dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan baik bersubyek organik maupun anorganik. Dalam hal ini taksonomi adalah selimut bagi ilmu dasar lainnya yang tergantung pada perkembangan dan eksistensi dari informasi taksonomi. Ilmu dasar lainnya tidak bisa berdiri sendiri dengan hanya mengandalkan data penelitian mereka tanpa melibatkan informasi taksonomi.
Sebagai salah satu anak cabang ilmu biologi taksonomi mempelajari tentang variasi jenis suatu kelompok tumbuhan dan penelitian sebab dan akibat dari adanya variasi jenis tersebut sehingga didapat data yang komprehensif untuk meyusun suatu sistem klasifikasi yang stabil dari suatu kelompok tumbuhan.
Pada tahap awal penelitian seorang ahli biologi harus mengetahui jenis atau organisme yang mereka teliti sebelum mereka menyebarkan informasi tentang penelitian mereka, disinilah fungsi seorang taksonom yang sudah membuat stabilitas tata nama berdasarkan pertimbangan ilmiah. Beberapa disiplin ilmu biologi tidak bisa berjalan proses penelitiannya tanpa adanya klasifikasi dasar dan tentu saja sangat terkait erat dengan taksonomi. Ahli sitologi, genetika, ekologi, fitososiologi, anatomi, palinologi, palaeobotany maupun ahli geografi tumbuhan adalah beberapa ilmuwan yang diuntungkan dengan adanya seorang taksonom. Dalam proses penelitian ilmuwan tersebut jika identifikasi yang dilakukan meragukan atau salah (dalam kerangka klasifikasi yang digunakan) maka hasil penelitiannya menjadi kurang nilainya atau bahkan tidak bermanfaat. Suatu penelitian tidak bisa diulang oleh ilmuwan lain jika objek yang diteliti salah identifikasi (Heywood, 2001; Mayr, 1957).
Hasil penelitian taksonomi dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu monograph, flora serta beberapa hasil publikasi ilmiah yang mendukung terselesaikannya monograph maupun flora. Keseluruhan hasil penelitian tersebut tidak terlepas dari spesimen herbarium sebagai objek dasar penelitian taksonomi dalam melakukan revisi suatu marga ataupun suku. Hasil penelitian taksonomi berupa flora dan perlakuan taksonomi pada suku, marga maupun pada tingkatan jenis nantinya dapat digunakan untuk tujuan identifikasi jenis pada suatu kawasan serta dapat mendukung kelangsungan konservasi jenis-jenis tersebut.
Demikian pentingnya peran ahli taksonomi tumbuhan dalam kancah ilmu pengetahuan di Indonesia ternyata tidak didukung oleh buku-buku bacaan yang bisa mendorong para mahasiswa Indonesia untuk menjadi tertarik dan jatuh cinta dengan ilmu taksonomi. Di era serba cepat dan maju pada dasawarsa terakhir ini, buku-buku acuan pelajaran sistematika di Indonesia termasuk taksonomi tumbuhan Indonesia sangatlah ketinggalan jaman. Hal ini dikarenakan tumbuhan yang menjadi sumber acuan adalah tumbuhan dari dunia barat yang disesuaikan dengan contoh tumbuhan Indonesia berdasarkan konsep klasifikasi yang sudah kadaluwarsa, didukung pula penyajiannya yang tidak luwes dan sangat menekankan landasan sistematikanya sehingga menimbulkan kejenuhan di kalangan pembacanya terutama para mahasiswa perguruan tinggi Indonesia karena adanya keharusan untuk menghafal nama-nama latin pada tiap suku yang dipelajari. Sungguh sangat disayangkan jika pada akhirnya hasil penelitian taksonomi dan sistematika tumbuhan menjadi tidak termanfaatkan secara optimum.
Kehadiran buku ajar tentang keanekaragaman dunia tetumbuhan Indonesia sangat diperlukan guna menambah pengayaan mahasiswa Indonesia akan lingkungan tetumbuhan yang berada di sekitarnya termasuk juga pemahaman akan taksonomi dan sistematikanya tanpa membebani mereka dengan materi yang tidak berkaitan langsung dengan kehidupannya sehari-hari. Untuk itulah buku ajar ini disusun guna mewadahi keinginan para ahli tasonomi Indonesia memberikan pengenalan dunia tetumbuhan Indonesia dengan contoh-contoh yang banyak ditemukan di sekitar kita.
Buku ajar ini disusun berdasarkan kelompok suku mulai dari tumbuhan tingkat rendah berhijau daun meliputi ganggang, lumut kerak, lumut, paku, tumbuhan berunjung, hingga tumbuhan tingkat tinggi atau tumbuhan berbunga yang meliputi 80 suku.

MEMAHAMI SISTEM ANGIOSPERM PHYLOGENY GROUP II (APGII)

Agung Sedayu (Universitas Negeri Jakarta)
*Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Kampus B UNJ, Jl. Pemuda 10 Rawamangun, Jakarta Timur 13220.

Angiospermae atau tumbuhan berbunga adalah kelompok tumbuhan yang paling beragam dari tumbuhan berbiji yang hidup pada saat ini. Sekitar 95% dari keseluruhan tumbuhan darat, atau setidaknya 260,000 jenis dalam 453 suku tumbuhan berbunga tercatat dalam kelompok Angiospermae (Judd dkk., 2002; APG II, 2003; Soltis dkk., 2005). Walaupun sangat beragam, baik dalam karakter morfologi dan cara hidup, Angiospermae jelas merupakan satu kelompok yang kokoh dan saling berbagi karakter maju/turunan (=synapomorphy/sinapomorfi) dan dianggap sebagai sister dari Gymnospermae. Karakter sinapomorfi yang menyatukan Angiospermae adalah (1) Adanya struktur bunga (berasosiasi dengan struktur perhiasan bunga); (2) ovule yang terlindungi daun buah; (3) fertilisasi ganda yang menghasilkan endosperma; (4) kepala putik dengan dua pasang kantung sari; (5) karakter gametofit dan embriologi; dan (6) jaringan floem yang tersusun atas tabung pengayak dan sel pengiring (Doyle & Donoghue, 1986; Judd dkk. 2002; P. Soltis dkk., 2004; D. Soltis dkk., 2005).
Pengetahuan tentang hubungan kekerabatan dalam kelompok Angiospermae terus bertambah dan terus dikembangkan. Dengan gabungan dari berbagai karakter seperti morfologi, anatomi, embriologi palinologi karyologi, biokimia dan molekular, sistem klasifikasi dan pola hubungan kekerabatan antar kelompok dalam Angiospermae yang ada sekarang dianggap lebih alamiah dan logis. Penggunaan sekuen gen ganda (multiple gene sequence) yang marak dimanfaatkan akhir-akhir ini sangat membantu dalam menganalisis hubungan antar kelompok-kelompok Angiospermae.
Sistem yang mengambarkan hubungan kekerabatan dalam Angiospermae dengan cukup menyeluruh dapat ditemui pada sistem APG II (2003). Sistem APG II dibuat berdasarkan publikasi-publikasi ilmiah tentang analisis kladistik (cladistic) memanfaatkan data molekular (seperti: Chase dkk. 1993, 2000; Graham & Olmstead 2000; Soltis dkk. 1997, 2000; Qiu dkk. 2000; Zanis dkk. 2002); atau kombinasi dari data morfologi dan data molekular (seperti Nandi dkk. 1998). Sistem APG tidak mencoba untuk mengenali semua kategori dalam hierarki taksonomi, namun hanya kelompok-kelompok yang monofiletik; artinya untuk membentuk satu takson, seluruh anggota takson harus berkerabat dekat satu dengan lainnya dibandingkan anggota takson lain. Konsekuensi dari hanya memetakan kelompok yang monofiletik adalah banyak suku-suku yang dikenal secara tradisional, namun dalam sistem APG II dipisahkan (seperti Liliaceae yang dikenal oleh Cronquist 1981 sebagai satu suku besar dipecah menjadi beberapa bangsa, Asparagales, Dioscoreales, Liliales, Pandanales dan Petrosaviales (Chase dkk., 2000); atau disatukan (seperti Bombacaceae, Tiliacae, Sterculiaceae dan Malvaceae digabung dalam Malvaceae). Suku-suku yang monofiletik selanjutnya menyusun satu bangsa tertentu. Dalam memahami sistem APG, satu bangsa bukanlah kelompok yang setara dalam hierarki taksonomi, maupun evolusi. Satu bangsa dalam sistem APG juga didefinisikan dengan sangat sederhana: gabungan suku-suku yang monofiletik.
Beberapa bangsa yang monofiletik selanjutnya menyusun kelompok-kelompok (monofiletik juga) yang diberi nama informal, seperti Magnoliid, Monocot, Eudicot, Rosid, Euosid I, Eurosid II, Asterid, Euasterid I dan Euasterid II. Perlu diperhatikan, karena penamaan kelompok di atas bangsa adalah penamaan informal, maka penamaan istilah Magnoliid tidak mengikuti kaidah dalam International Code of Botanical Nomenclature (ICBN). Konsekuensinya, "Magnoliid hanya dituliskan sebagai "Magnoliid" tanpa akhiran baku (seperti -ceae untuk suku atau -ales untuk bangsa; atau -idae untuk anak-kelas dalam sistem Cronquist 1981, 1988). Juga tidak ada konsekuensi untuk menuliskan kata "Magnoliid" dengan huruf awal kapital atau huruf kecil.
Cara menyusun kelompok-kelompok (clade) dalam sistem APG II yang berdasarkan monofili, atau berkerabat dekatnya satu kelompok atau tidak, menyebabkan kelompok-kelompok utama yang ada dalam sistem APG tidak setara secara hierarki taksonomi. Misalnya kita mengenal kelompok (clade) utama seperti Amborellaceae (suku), yang diperlakukan setara sebagai kelompok (clade) utama Magnoliid (anak-kelas, jika menggunakan sistem Cronquist). Pada sistem klasifikasi lampau (Dahlgren 1980 atau Cronquist 1981, 1988), kita akan selalu mengelompokkan takson-takson yang setara secara hierarkis; artinya, kita akan membentuk takson "Amborelliid" yang posisinya setara dengan Magnoliid (menempati anak-kelas, jika menggunakan sistem Cronquist). Namun pada sistem APG II, hal tersebut tidak dilakukan;  Amborellales tetaplah sebagai bangsa Amborellales, tanpa (belum!?) dibentuknya takson superior yang menaunginya; tidak ada Amborelliidae (-idae, akhiran untuk anak-kelas pada sistem Cronquist)  atau Amborellopsida (-opsida, akhiran untuk kelas pada sistem Cronquist). 
Clade utama Angiospermae
ada sistem APG II, Angiospermae dapat dikelompokkan menjadi beberapa grup, yaitu (1)Amborellales, (2) Nymphaeales, (3) Austrobaileyales, (4) Chloranthaceae (empat kelompok ini sering disebut sebagai basal clades/basal angiosperms), (5) Magnoliid (terdiri dari Laurales, Magnoliales, Canellales dan Piperales), (6) Monocot/Monokotiledon, (7) Ceratophyllales dan (8) Eudicot/Eudikotiledon.
Amborellales
Berdasarkan penelitian kladistik/cladistic, Amborellales yang terdiri atas satu suku Amborellaceae dan satu jenis Amborella trichopoda diterima sebagai hipotesis terbaik sebagai cabang Angiospermae paling pangkal (basal angiosperm). Secara morfologi dan anatomi Amborella adalah kelompok dalam tumbuhan berbunga yang tidak memiliki vessel dan perhiasan bunga yang tersusun spiral, tangkai putik berbentuk helai dan karpel yang terpisah. Karakter absennya vessel (Judd dkk., 2002) dan serbuk sari dengan tektum yang menjala (reticulate tectum; Doyle & Endress, 2001) dianggap merupakan karakter yang primitif pada spermatofita . Sementara karakter yang memisahkan Amborella dari Angiospermae pangkal lainnya kelihatannya adalah tidak adanya sel penghasil minyak esensial yang didapati di mayoritas anggota Angiospermae pangkal. 
Nymphaeales
Posisi Nymphaeales sebagai salah satu anggota Angiospermae pangkal mengikuti Amborellales kelihatannya sulit dipertahankan oleh karakter morfologi maupun anatomi. Karakter yang kuat untuk menempatkan Nymphaeales sebagai angiospermae pangkal adalah data DNA, yang juga sesuai dengan usia kelompok tersebut berdasarkan data fosil (Judd dkk., 2002).
Austrobaileyales.
Austrobaileyales terdiri dari Austrobaileyaceae (Austrobaileya), Trimeniaceae (Trimenia)  dan Schisandraceae, yang terdiri dari Schisandra, Kadsura dan Illicium (sangat dikenal sebagai bumbu masak, Illicium verum = bunga lawang/star anise); APG II 2003). Tidak ada karakter, kecuali molekular yang sejauh ini dapat digunakan mendukung monofili dari kelompok tersebut.
Hubungan antar Ceratophyllaceae, monokotiledon, Chloranthaceae, magnoliid dan eudicot
Pengetahuan tentang hubungan antar Ceratophyllaceae, monokotiledon, Chloranthaceae, magnoliid dan eudicot sejauh ini sangatlah kurang. Setiap clade memiliki dukungan data fosil dan molekular yang kuat, namun hubungan diantaranya belum jelas. Monokotiledon secara karakteristik merupakan kelompok yang monofiletik, namun tidak dengan dikotiledon. Dikotiledon dalam pengertian klasik, yang mengikutsertakan Amborellaceae, Nymphaeaceae, Austrobaileyales, Ceratophyllaceae, Chloranthaceae dan magnoliid, justru merupakan kelompok yang polyfiletik (polyphyletic), sehingga pengunaan istilah "Dikotiledon" tidak sesuai dengan konsep monofiletik dari satu takson dan harusnya digantikan oleh Eudicot ("Dikotiledon klasik” minus Amborellaceae, Nymphaeaceae, Austrobaileyales, Ceratophyllaceae, Chloranthaceae dan magnoliid).
Monokotiledon
Kebalikan dari Dikotiledon yang merupakan kelompok yang tidak valid karena tidak monofiletik, Monokotiledon justru sangat monofiletik dan merupakan kelompok yang khas dalam Angiospermae. Jika dahulu, Ray (1703) mendefinisikan Monokotiledon dengan karakter apomorfi keping biji tunggal, maka perkembangan ilmu botani hingga sekarang menunjukkan 13 karakter synapomorfi untuk monokotiledon, diantaranya kotiledon tunggal, urat-daun sejajar, plastida di sel tapis dilengkapi kristal protein berbentuk cuneate, ikatan pembuluh tersebar, sistem perakaran serabut, dan pola pertumbuhan simpodial. Pola pertumbuhan simpodial hampir dimiliki seluruh kelompok Monokotiledon, walaupun dalam kelompok non-monokotiledon pola pertumbuhan simpodial juga ditemui.  Monokotiledon ditempatkan sebagai sister dari Ceratophyllaceae; selanjutnya clade [Monokotiledon + Ceratophyllaceae] adalah sister dari dari clade [Chloranthaceae + magnoliid + eudicot]. Hubungan antar kelompok-kelompok tersebut masih menjadi subyek penelitian intensif.
Magnoliid, Ceratophyllaceae dan Chloranthaceae
Kelompok kecil yang terdiri dari Magnoliid atau eumagnoliid (Canellales, Laurales, Magnoliales & Piperales), Chloranthaceae (terdiri dari empat marga) dan Ceratophyllaceae (terdiri dari marga tunggal, Ceratophyllum) dahulunya merupakan anggota"Dikotiledon" karena memiliki dua keping kotiledon. Namun analisis lanjut menunjukkan bahwa mereka memiliki karakter yang juga dimiliki oleh Monokotiledon, yaitu serbuk sari dengan apertur tunggal (uniaperturate). Data selain molekular tidak dapat menjelaskan hubungan kekerabatan baik Ceratophyllaceae dan Chloranthaceae. Data molekular tersebut menunjukkan bahwa Ceratophyllaceae berkerabat erat dengan Monokotiledon, sementara Chloranthaceae adalah sister dari clade [Monokotiledon + magnoliid].
Eudicot
Kelompok eudicot adalah kelompok monofiletik besar yang terdiri dari 190.000-an jenis tumbuhan atau 75% Angiospermae. Kelompok eudicotiledom mendapat dukungan kuat berdasarkan karakter molekular, dan paling tidak satu karakter morfologi, yaitu serbuk sari dengan tiga apertur (triaperturate pollen). Banyak anggota eudicot yang memiliki serbuk sari dengan lebih dari tiga apertur, yang dianggap sebagai turunan dari karakter dengan tiga apertur. Karakter tiga apertur dianggap lebih modern daripada serbuk sari dengan satu apertur (monosulcate), yang dianggap sebagai karakter nenek moyang Angiospermae.  Dalam clade eudicot terdapat clade-clade monofiletik, yaitu kelompok Ranunculales, Sabiaceae (Sabiales), Buxaceae (Buxales), Proteales, Trochodendraceae dan sebuah clade besar, core eudicot. Ranunculales adalah kelompok yang kurang umum dijumpai di Indonesia. Mungkin anggota Ranunculaceae yang cukup sering kita temui adalah dari suku Menispermaceae, seperti cincau (Cyclea barbata). Sabiaceae (Sabiales), Buxaceae (Buxales) dan Trochodendraceae (Trochodendrales), kurang umum dijumpai di Indonesia, sedangkan anggota Proteales yang cukup umum ditemui di Indonesia adalah seroja (Nelumbium nucifera; Nelumbonaceae), yang sebelumnya ditempatkan dalam suku Nymphaeaceae.
Core eudicot (…….; adakah istilah dalam bahasa Indonesia?)
Istilah core eudicot hanya dapat muncul setelah pemanfaatan data molekular untuk sistematika tumbuhan, artinya, pemanfaatan data morfologi dan anatomi dalam sistematika yang sebelumnya sangat intensif dilakukan sama sekali tidak mengenal istilah tersebut.  Penelitian-penelitan terakhir berusaha mengungkap karakter morfologi yang menjadi karakter sinapomorfi dari keseluruhan core eudicot. Nampaknya jumlah dan susunan bagian-bagian bunga (kelopak, mahkota, tangkai sari, putik dan karpel) adalah kandidat karakter yang sangat intensif diteliti (Judd dkk. 2002). Dalam core eudicot terdapat bangsa-bangsa yang monofiletik, yaitu  Gunnerales, Caryophyllales, Santalales dan Saxifragales; serta dua clade besar Rosid, yang dapat dibagi menjadi dua clade utama Eurosid I & Eurosid II dan Asterid yang terdiri dari Euasterid I & Euasterid II.
Bangsa Gunnerales tidak ditemukan di Indonesia, sedangkan anggota bangsa Caryophyllales sangat umum kita jumpai, seperti bayam (Amaranthus cruentus; Amaranthaceae), krokot (Portulaca oleracea; Portulacaceae), kantung semar (Nepenthes spp.; Nepenthaceae), kaktus duri centong (Opuntia sp.; Cactaceae), kembang kertas (Bougainvillea spectabilis; Nyctaginaceae) dan lain-lain. Bangsa Santalales juga cukup akrab dengan telinga orang Indonesia, seperti kayu cendana (Santalum album; Santalaceae) dan benalu (Macrosolen cochinchinensis). Anggota bangsa Saxifragales yang cukup umum kita kenal adalah pohon rasamala (Altingia excelsa; Hamamelidaceae/Altingiaceae)
Rosid
Rosid mencakup sekitar 140 suku atau sekitar sepertiga dari keseluruhan Angiospermae. Berdasarkan analisis molekuler, Rosid jauh lebih luas dari cakupan anak-kelas Rosidae (Cronquist 1981).  Banyak kelompok-kelompok yang sebelumnya ditempatkan dalam anak-kelas Magnoliidae, Dilleniidae dan Hamamelidae ternyata secara molekular merupakan anggota dari Rosid.
Dua anak-clade besar dalam Rosid, yaitu Eurosid I (fabid) dan Eurosid II (malvid), diidentifikasi melalui data molekular (Soltis dkk., 2000). Eurosid I terdiri dari  Celastrales, Cucurbitales, Fabales, Fagales, Zygophyllales, Malpighiales, Oxalidales dan Rosales. Anak-clade  Eurosid II yang lebih sedikit anggotanya terdiri dari Brassicales, Malvales, Sapindales dan Tapisciaceae.
Asterid
Asterid juga merupakan clade besar yang meliputi sekitar sepertiga dari keseluruhan Angiospermae, atau sekitar 80.000 jenis tumbuhan dari 114 suku. Kebalikan dari clade lain dalam sistem APG yang kadang tidak dapat didefinisikan dengan karakter morfologi, orang justru sejak 200 tahun lalu mengenal Asterid melalui karakter morfologi (de Jussieu 1789). Walaupun tidak seluruhnya identik, anggota clade Asterid hampir seluruhnya terdiri dari kelompok-kelompok yang dahulu dikenal sebagai “Sympetalae”; kelompok dengan helai mahkota yang berlekatan dan membentuk tabung mahkota (corolla tube). Dalam Asterid terdapat clade Euasterid I (lamiid), yang oleh Bremer dkk. (2001) didefinisikan sebagai kelompok dengan daun berhadapan, tepi daun rata, ovarium tenggelam, bunga sympetalus, tangkai sari yang berlekatan dengan tabung mahkota, dan buah kapsul. Anggota Eurosid I adalah Garryales, Gentianales, Solanales dan Lamiales (ditambah Boraginaceae, Vahliaceae dan Oncothecaceae + Icacinaceae; APG II 2003). Clade selanjutnya dalam Asterid adalah Euasterid II (campanuliid) , yang didefinisikan Bremer dkk. (2001) sebagai kelompok dengan daun berseling, tepi daun bergerigi, bunga simpetalus yang epiginus, tangkai sari yang berlepasan dan buah tidak-bengang. Anggota clade Euasterid II adalah Dipsacales, Aquifoliales, Apiales dan Asterales (ditambah Bruniaceae + Columelliaceae, Tribelaceae, Polyosmaceae, Escalloniaceae dan Eremosynaceae (Judd dkk., 2002).
Makalah asli APG II (2003) dengan mudah dapat diunduh melalui internet, misalnya dari: http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/118872219/PDFSTART.





















Konsep buku yang akan disususn dan disajikan merujuk pada sistim klasifikasi filogeni dengan cladogram berikut;

Gambar.  Pohon filogenetik Rekonstruksi kekerabatan Angiospermae berdasarkan APG II (2003).










Tidak ada komentar:

Posting Komentar