Tim penyunting
Mien A. Rifai
Rugayah
Himmah Rustiami
Ahmad Dwi Setyawan
Fitmawati
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat
Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan
Nasional
2007
PRAKATA
Ternyata selama ini taksonomi tumbuhan sebagai
salah satu cabang ilmu biologi tidak banyak menarik minat mahasiswa Indonesia
untuk mempelajarinya lebih mendalam. Hal ini dikarenakan selain teknik
pengajarannya yang tidak menarik, membosankan, juga buku-buku ajar yang ada
saat ini tidak bisa mewakili kondisi tetumbuhan asli Indonesia yang bisa
dijumpai dengan mudah di sekitar lingkungan kita. Untuk itu diperlukan acuan
baru buku sistematika termasuk taksonomi tumbuhan yang bisa menjadikan
mahasiswa Indonesia tertarik dan jatuh hati dengan pelajaran taksonomi
tumbuhan.
Dalam beberapa kongresnya Penggalang Taksonomi
Tumbuhan Indonesia (PTTI) telah memilih suku-suku tumbuhan yang harus dikuasai
mahasiswa Indonesia, baik yang belajar biologi, maupun pertanian, hortikultura,
kehutanan, peternakan, farmasi, lingkungan dan juga arsitektur lansekap. Sesuai
dengan perkembangan ilmu, dianggap perlu pula untuk hanya mengkhususkan pada
tetumbuhan hijau, mulai dari ganggang, lumut kerak, lumut, paku, tumbuhan
berunjung dan tumbuhan berbunga.
Pendekatan penulisan buku ajar ini tidaklah klasik
karena disusun dengan memilih satu dua tumbuhan sekitar yang umum dan mewakili
untuk dijadikan inti tipologi suku yang harus dipahami dan diketahui mahasiswa
Indonesia. Sebagai akibatnya akan terbangun sistem klasifikasi dan nama ilmiah
yang telah dihayati maknanya sehingga tidak harus dihafalkan di luar kepala.
Selanjutnya mahasiswa akan dituntun dalam mencari sendiri informasi lanjutan
yang diperlukannya sesudah mereka meninggalkan bangku perkuliahan dan terjun ke
tengah masyarakat. Dengan demikian,
secara efisien dan efektif mereka akan berkemampuan menggunakan buku-buku
pegangan yang ada seperti Flora Malesiana,
Flora of Java, De Nutige Planten van Indonesie (Tetumbuhan Berguna
Indonesia), PROSEA Handbooks, Weedflora of Ricefields dan bahan-bahan
lain seperti CD-ROM.
Bogor, Desember 2007
Tim
Penyunting
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Penyumbang Naskah
BAB 1. Pendahuluan
BAB 2. Ganggang
BAB 3. Lumut
BAB 4. Paku
BAB 5. Tumbuhan Berunjung (Gymnospermae)
BAB 6. Tumbuhan Berbunga (Angiospermae)
Basal Famili
Magnoliid Kompleks
Tumbuhan berkeping Tunggal
(Monocotiledonae)
Tumbuhan Berkeping Dua (Dycotiledoneae/Eudicot)
Glosarium
Indeks
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian dan pemahaman
tentang keanekaragaman dan kedudukan suatu takson dalam klasifikasi tidak
pernah terlepas dari ilmu taksonomi. Taksonomi adalah ilmu dasar bagi
pengembangan ilmu biologi lainnya dimana ilmu-ilmu biologi lainnya sangat
bergantung pada hasil penelitian taksonomi. Ini merupakan posisi yang unik
karena pada satu sisi taksonomi merupakan suatu ilmu sintetis yang
menguntungkan penelitian yang dilakukan dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan
baik bersubyek organik maupun anorganik. Dalam hal ini taksonomi adalah selimut
bagi ilmu dasar lainnya yang tergantung pada perkembangan dan eksistensi dari
informasi taksonomi. Ilmu dasar lainnya tidak bisa berdiri sendiri dengan hanya
mengandalkan data penelitian mereka tanpa melibatkan informasi taksonomi.
Sebagai salah satu anak cabang
ilmu biologi taksonomi mempelajari tentang variasi jenis suatu kelompok
tumbuhan dan penelitian sebab dan akibat dari adanya variasi jenis tersebut
sehingga didapat data yang komprehensif untuk meyusun suatu sistem klasifikasi
yang stabil dari suatu kelompok tumbuhan.
Pada
tahap awal penelitian seorang ahli biologi harus mengetahui jenis atau
organisme yang mereka teliti sebelum mereka menyebarkan informasi tentang
penelitian mereka, disinilah fungsi seorang taksonom yang sudah membuat
stabilitas tata nama berdasarkan pertimbangan ilmiah. Beberapa disiplin ilmu
biologi tidak bisa berjalan proses penelitiannya tanpa adanya klasifikasi dasar
dan tentu saja sangat terkait erat dengan taksonomi. Ahli sitologi, genetika,
ekologi, fitososiologi, anatomi, palinologi, palaeobotany maupun ahli geografi
tumbuhan adalah beberapa ilmuwan yang diuntungkan dengan adanya seorang
taksonom. Dalam proses penelitian ilmuwan tersebut jika identifikasi yang
dilakukan meragukan atau salah (dalam kerangka klasifikasi yang digunakan) maka
hasil penelitiannya menjadi kurang nilainya atau bahkan tidak bermanfaat. Suatu
penelitian tidak bisa diulang oleh ilmuwan lain jika objek yang diteliti salah
identifikasi (Heywood, 2001; Mayr, 1957).
Hasil penelitian taksonomi dapat dibedakan menjadi
tiga kategori yaitu monograph, flora serta beberapa hasil publikasi ilmiah yang
mendukung terselesaikannya monograph maupun flora. Keseluruhan hasil penelitian
tersebut tidak terlepas dari spesimen herbarium sebagai objek dasar penelitian
taksonomi dalam melakukan revisi suatu marga ataupun suku. Hasil penelitian
taksonomi berupa flora dan perlakuan taksonomi pada suku, marga maupun pada
tingkatan jenis nantinya dapat digunakan untuk tujuan identifikasi jenis pada
suatu kawasan serta dapat mendukung kelangsungan konservasi jenis-jenis
tersebut.
Demikian pentingnya peran ahli taksonomi tumbuhan
dalam kancah ilmu pengetahuan di Indonesia ternyata tidak didukung oleh
buku-buku bacaan yang bisa mendorong para mahasiswa Indonesia untuk menjadi
tertarik dan jatuh cinta dengan ilmu taksonomi. Di era serba cepat dan maju
pada dasawarsa terakhir ini, buku-buku acuan pelajaran sistematika di Indonesia
termasuk taksonomi tumbuhan Indonesia sangatlah ketinggalan jaman. Hal ini
dikarenakan tumbuhan yang menjadi sumber acuan adalah tumbuhan dari dunia barat
yang disesuaikan dengan contoh tumbuhan Indonesia berdasarkan konsep
klasifikasi yang sudah kadaluwarsa, didukung pula penyajiannya yang tidak luwes
dan sangat menekankan landasan sistematikanya sehingga menimbulkan kejenuhan di
kalangan pembacanya terutama para mahasiswa perguruan tinggi Indonesia karena
adanya keharusan untuk menghafal nama-nama latin pada tiap suku yang
dipelajari. Sungguh sangat disayangkan jika pada akhirnya hasil penelitian
taksonomi dan sistematika tumbuhan menjadi tidak termanfaatkan secara optimum.
Kehadiran buku ajar tentang keanekaragaman dunia tetumbuhan Indonesia sangat diperlukan guna menambah
pengayaan mahasiswa Indonesia
akan lingkungan tetumbuhan yang berada di sekitarnya termasuk juga pemahaman
akan taksonomi dan sistematikanya tanpa membebani mereka dengan materi yang
tidak berkaitan langsung dengan kehidupannya sehari-hari. Untuk itulah buku
ajar ini disusun guna mewadahi keinginan para ahli tasonomi Indonesia memberikan pengenalan dunia tetumbuhan
Indonesia
dengan contoh-contoh yang banyak ditemukan di sekitar kita.
Buku ajar ini disusun berdasarkan kelompok suku mulai dari tumbuhan
tingkat rendah berhijau daun meliputi ganggang, lumut kerak, lumut, paku,
tumbuhan berunjung, hingga tumbuhan tingkat tinggi atau tumbuhan berbunga yang
meliputi 80 suku.
MEMAHAMI SISTEM ANGIOSPERM
PHYLOGENY GROUP II (APGII)
Agung Sedayu (Universitas Negeri Jakarta)
*Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Kampus B UNJ, Jl. Pemuda 10
Rawamangun, Jakarta Timur 13220.
Angiospermae atau tumbuhan berbunga adalah kelompok tumbuhan yang
paling beragam dari tumbuhan berbiji yang hidup pada saat ini. Sekitar 95% dari
keseluruhan tumbuhan darat, atau setidaknya 260,000 jenis dalam 453 suku
tumbuhan berbunga tercatat dalam kelompok Angiospermae (Judd dkk., 2002; APG II, 2003; Soltis dkk., 2005). Walaupun sangat beragam,
baik dalam karakter morfologi dan cara hidup, Angiospermae jelas merupakan satu
kelompok yang kokoh dan saling berbagi karakter maju/turunan
(=synapomorphy/sinapomorfi) dan dianggap sebagai sister dari Gymnospermae. Karakter sinapomorfi yang menyatukan
Angiospermae adalah (1) Adanya struktur bunga (berasosiasi dengan struktur
perhiasan bunga); (2) ovule yang
terlindungi daun buah; (3) fertilisasi ganda yang menghasilkan endosperma; (4)
kepala putik dengan dua pasang kantung sari; (5) karakter gametofit dan embriologi;
dan (6) jaringan floem yang tersusun atas tabung pengayak dan sel pengiring
(Doyle & Donoghue, 1986; Judd dkk.
2002; P. Soltis dkk., 2004; D. Soltis
dkk., 2005).
Pengetahuan tentang hubungan kekerabatan dalam kelompok Angiospermae
terus bertambah dan terus dikembangkan. Dengan gabungan dari berbagai karakter
seperti morfologi, anatomi, embriologi palinologi karyologi, biokimia dan
molekular, sistem klasifikasi dan pola hubungan kekerabatan antar kelompok
dalam Angiospermae yang ada sekarang dianggap lebih alamiah dan logis.
Penggunaan sekuen gen ganda (multiple
gene sequence) yang marak dimanfaatkan akhir-akhir ini sangat membantu
dalam menganalisis hubungan antar kelompok-kelompok Angiospermae.
Sistem yang mengambarkan hubungan kekerabatan dalam Angiospermae
dengan cukup menyeluruh dapat ditemui pada sistem APG II (2003). Sistem APG II
dibuat berdasarkan publikasi-publikasi ilmiah tentang analisis kladistik (cladistic) memanfaatkan data molekular (seperti: Chase dkk. 1993, 2000; Graham & Olmstead 2000; Soltis dkk. 1997, 2000; Qiu dkk. 2000; Zanis dkk. 2002); atau kombinasi dari data morfologi dan data molekular
(seperti Nandi dkk. 1998). Sistem APG
tidak mencoba untuk mengenali semua kategori dalam hierarki taksonomi, namun
hanya kelompok-kelompok yang monofiletik;
artinya untuk membentuk satu takson, seluruh anggota takson harus berkerabat
dekat satu dengan lainnya dibandingkan anggota takson lain. Konsekuensi dari
hanya memetakan kelompok yang monofiletik adalah banyak suku-suku yang dikenal
secara tradisional, namun dalam sistem APG II dipisahkan (seperti Liliaceae yang dikenal oleh Cronquist 1981
sebagai satu suku besar dipecah menjadi beberapa bangsa, Asparagales,
Dioscoreales, Liliales, Pandanales dan Petrosaviales (Chase dkk., 2000); atau disatukan (seperti Bombacaceae, Tiliacae, Sterculiaceae dan
Malvaceae digabung dalam Malvaceae). Suku-suku yang monofiletik selanjutnya
menyusun satu bangsa tertentu. Dalam memahami sistem APG, satu bangsa bukanlah
kelompok yang setara dalam hierarki taksonomi, maupun evolusi. Satu bangsa
dalam sistem APG juga didefinisikan dengan sangat sederhana: gabungan suku-suku
yang monofiletik.
Beberapa bangsa yang monofiletik selanjutnya menyusun
kelompok-kelompok (monofiletik juga) yang diberi nama informal, seperti Magnoliid,
Monocot, Eudicot, Rosid, Euosid I, Eurosid II, Asterid, Euasterid I dan
Euasterid II. Perlu diperhatikan, karena penamaan kelompok di atas bangsa
adalah penamaan informal, maka penamaan istilah Magnoliid tidak mengikuti
kaidah dalam International Code of
Botanical Nomenclature (ICBN). Konsekuensinya, "Magnoliid hanya
dituliskan sebagai "Magnoliid" tanpa akhiran baku (seperti -ceae untuk suku atau -ales untuk
bangsa; atau -idae untuk anak-kelas
dalam sistem Cronquist 1981, 1988). Juga tidak ada konsekuensi untuk menuliskan
kata "Magnoliid" dengan huruf awal kapital atau huruf kecil.
Cara menyusun kelompok-kelompok (clade)
dalam sistem APG II yang berdasarkan monofili, atau berkerabat dekatnya satu
kelompok atau tidak, menyebabkan kelompok-kelompok utama yang ada dalam sistem
APG tidak setara secara hierarki taksonomi. Misalnya kita mengenal kelompok (clade) utama seperti Amborellaceae
(suku), yang diperlakukan setara sebagai kelompok (clade) utama Magnoliid (anak-kelas, jika menggunakan sistem
Cronquist). Pada sistem klasifikasi lampau (Dahlgren 1980 atau Cronquist 1981,
1988), kita akan selalu mengelompokkan takson-takson yang setara secara
hierarkis; artinya, kita akan membentuk takson "Amborelliid" yang
posisinya setara dengan Magnoliid (menempati anak-kelas, jika menggunakan
sistem Cronquist). Namun pada sistem APG II, hal tersebut tidak dilakukan; Amborellales tetaplah sebagai bangsa
Amborellales, tanpa (belum!?)
dibentuknya takson superior yang menaunginya; tidak ada Amborelliidae (-idae, akhiran untuk anak-kelas pada
sistem Cronquist) atau Amborellopsida (-opsida, akhiran untuk kelas pada sistem
Cronquist).
Clade utama Angiospermae
ada sistem APG II, Angiospermae dapat dikelompokkan menjadi beberapa
grup, yaitu (1)Amborellales, (2) Nymphaeales, (3) Austrobaileyales, (4)
Chloranthaceae (empat kelompok ini sering disebut sebagai basal clades/basal angiosperms), (5) Magnoliid (terdiri dari
Laurales, Magnoliales, Canellales dan Piperales), (6) Monocot/Monokotiledon,
(7) Ceratophyllales dan (8) Eudicot/Eudikotiledon.
Amborellales
Berdasarkan penelitian kladistik/cladistic,
Amborellales yang terdiri atas satu suku Amborellaceae dan satu jenis Amborella trichopoda diterima sebagai
hipotesis terbaik sebagai cabang Angiospermae paling pangkal (basal angiosperm). Secara morfologi dan
anatomi Amborella adalah kelompok
dalam tumbuhan berbunga yang tidak memiliki vessel
dan perhiasan bunga yang tersusun spiral, tangkai putik berbentuk helai dan
karpel yang terpisah. Karakter absennya vessel
(Judd
dkk., 2002)
dan serbuk sari dengan tektum yang menjala (reticulate
tectum; Doyle & Endress, 2001) dianggap merupakan karakter yang
primitif pada spermatofita . Sementara karakter yang memisahkan Amborella dari Angiospermae pangkal
lainnya kelihatannya adalah tidak adanya sel penghasil minyak esensial yang
didapati di mayoritas anggota Angiospermae pangkal.
Nymphaeales
Posisi Nymphaeales sebagai salah satu anggota Angiospermae pangkal
mengikuti Amborellales kelihatannya sulit dipertahankan oleh karakter morfologi
maupun anatomi. Karakter yang kuat untuk menempatkan Nymphaeales sebagai
angiospermae pangkal adalah data DNA, yang juga sesuai dengan usia kelompok
tersebut berdasarkan data fosil (Judd dkk.,
2002).
Austrobaileyales.
Austrobaileyales terdiri dari Austrobaileyaceae (Austrobaileya), Trimeniaceae (Trimenia) dan Schisandraceae, yang terdiri dari Schisandra, Kadsura dan Illicium (sangat dikenal sebagai bumbu
masak, Illicium verum = bunga lawang/star anise); APG II 2003). Tidak ada
karakter, kecuali molekular yang sejauh ini dapat digunakan mendukung monofili
dari kelompok tersebut.
Hubungan antar
Ceratophyllaceae, monokotiledon, Chloranthaceae, magnoliid dan eudicot
Pengetahuan tentang hubungan antar Ceratophyllaceae, monokotiledon,
Chloranthaceae, magnoliid dan eudicot sejauh ini sangatlah kurang. Setiap clade memiliki dukungan data fosil dan
molekular yang kuat, namun hubungan diantaranya belum jelas. Monokotiledon
secara karakteristik merupakan kelompok yang monofiletik, namun tidak dengan
dikotiledon. Dikotiledon dalam pengertian klasik, yang mengikutsertakan
Amborellaceae, Nymphaeaceae, Austrobaileyales, Ceratophyllaceae, Chloranthaceae
dan magnoliid, justru merupakan kelompok yang polyfiletik (polyphyletic), sehingga pengunaan istilah "Dikotiledon"
tidak sesuai dengan konsep monofiletik dari satu takson dan harusnya digantikan
oleh Eudicot ("Dikotiledon
klasik” minus Amborellaceae, Nymphaeaceae, Austrobaileyales, Ceratophyllaceae,
Chloranthaceae dan magnoliid).
Monokotiledon
Kebalikan dari Dikotiledon yang merupakan kelompok yang tidak valid karena tidak monofiletik,
Monokotiledon justru sangat monofiletik dan merupakan kelompok yang khas dalam
Angiospermae. Jika dahulu, Ray (1703) mendefinisikan Monokotiledon dengan
karakter apomorfi keping biji tunggal, maka perkembangan ilmu botani hingga
sekarang menunjukkan 13 karakter synapomorfi untuk monokotiledon, diantaranya
kotiledon tunggal, urat-daun sejajar, plastida di sel tapis dilengkapi kristal
protein berbentuk cuneate, ikatan
pembuluh tersebar, sistem perakaran serabut, dan pola pertumbuhan simpodial.
Pola pertumbuhan simpodial hampir dimiliki seluruh kelompok Monokotiledon,
walaupun dalam kelompok non-monokotiledon pola pertumbuhan simpodial juga
ditemui. Monokotiledon ditempatkan
sebagai sister dari Ceratophyllaceae;
selanjutnya clade [Monokotiledon +
Ceratophyllaceae] adalah sister dari
dari clade [Chloranthaceae +
magnoliid + eudicot]. Hubungan antar kelompok-kelompok tersebut masih menjadi
subyek penelitian intensif.
Magnoliid,
Ceratophyllaceae dan Chloranthaceae
Kelompok kecil yang terdiri dari Magnoliid atau eumagnoliid
(Canellales, Laurales, Magnoliales & Piperales), Chloranthaceae (terdiri
dari empat marga) dan Ceratophyllaceae (terdiri dari marga tunggal, Ceratophyllum) dahulunya merupakan
anggota"Dikotiledon" karena memiliki dua keping kotiledon. Namun
analisis lanjut menunjukkan bahwa mereka memiliki karakter yang juga dimiliki
oleh Monokotiledon, yaitu serbuk sari dengan apertur tunggal (uniaperturate). Data selain molekular
tidak dapat menjelaskan hubungan kekerabatan baik Ceratophyllaceae dan
Chloranthaceae. Data molekular tersebut menunjukkan bahwa Ceratophyllaceae
berkerabat erat dengan Monokotiledon, sementara Chloranthaceae adalah sister dari clade [Monokotiledon + magnoliid].
Eudicot
Kelompok eudicot adalah kelompok monofiletik besar yang terdiri dari
190.000-an jenis tumbuhan atau 75% Angiospermae. Kelompok eudicotiledom
mendapat dukungan kuat berdasarkan karakter molekular, dan paling tidak satu
karakter morfologi, yaitu serbuk sari dengan tiga apertur (triaperturate pollen). Banyak anggota eudicot yang memiliki serbuk
sari dengan lebih dari tiga apertur, yang dianggap sebagai turunan dari
karakter dengan tiga apertur. Karakter tiga apertur dianggap lebih modern
daripada serbuk sari dengan satu apertur (monosulcate),
yang dianggap sebagai karakter nenek moyang Angiospermae. Dalam clade
eudicot terdapat clade-clade
monofiletik, yaitu kelompok Ranunculales, Sabiaceae (Sabiales), Buxaceae
(Buxales), Proteales, Trochodendraceae dan sebuah clade besar, core
eudicot. Ranunculales adalah kelompok yang kurang umum dijumpai di Indonesia.
Mungkin anggota Ranunculaceae yang cukup sering kita temui adalah dari suku
Menispermaceae, seperti cincau (Cyclea
barbata). Sabiaceae (Sabiales), Buxaceae (Buxales) dan Trochodendraceae
(Trochodendrales), kurang umum dijumpai di Indonesia, sedangkan anggota
Proteales yang cukup umum ditemui di Indonesia adalah seroja (Nelumbium nucifera; Nelumbonaceae), yang
sebelumnya ditempatkan dalam suku Nymphaeaceae.
Core eudicot (…….; adakah istilah dalam bahasa Indonesia?)
Istilah core eudicot hanya dapat muncul setelah
pemanfaatan data molekular untuk sistematika tumbuhan, artinya, pemanfaatan
data morfologi dan anatomi dalam sistematika yang sebelumnya sangat intensif
dilakukan sama sekali tidak mengenal istilah tersebut. Penelitian-penelitan terakhir berusaha
mengungkap karakter morfologi yang menjadi karakter sinapomorfi dari
keseluruhan core eudicot. Nampaknya jumlah dan susunan bagian-bagian bunga
(kelopak, mahkota, tangkai sari, putik dan karpel) adalah kandidat karakter
yang sangat intensif diteliti (Judd dkk.
2002). Dalam core eudicot terdapat
bangsa-bangsa yang monofiletik, yaitu
Gunnerales, Caryophyllales, Santalales dan Saxifragales; serta dua clade besar Rosid, yang dapat dibagi
menjadi dua clade utama Eurosid I
& Eurosid II dan Asterid yang terdiri dari Euasterid I & Euasterid II.
Bangsa Gunnerales tidak ditemukan di Indonesia,
sedangkan anggota bangsa Caryophyllales sangat umum kita jumpai, seperti bayam
(Amaranthus cruentus; Amaranthaceae),
krokot (Portulaca oleracea;
Portulacaceae), kantung semar (Nepenthes
spp.; Nepenthaceae), kaktus duri centong (Opuntia
sp.; Cactaceae), kembang kertas (Bougainvillea
spectabilis; Nyctaginaceae) dan lain-lain. Bangsa Santalales juga cukup
akrab dengan telinga orang Indonesia, seperti kayu cendana (Santalum album; Santalaceae) dan benalu
(Macrosolen cochinchinensis). Anggota
bangsa Saxifragales yang cukup umum kita kenal adalah pohon rasamala (Altingia excelsa; Hamamelidaceae/Altingiaceae)
Rosid
Rosid mencakup sekitar 140 suku atau sekitar
sepertiga dari keseluruhan Angiospermae. Berdasarkan analisis molekuler, Rosid
jauh lebih luas dari cakupan anak-kelas Rosidae (Cronquist 1981). Banyak kelompok-kelompok yang sebelumnya
ditempatkan dalam anak-kelas Magnoliidae, Dilleniidae dan Hamamelidae ternyata
secara molekular merupakan anggota dari Rosid.
Dua anak-clade
besar dalam Rosid, yaitu Eurosid I (fabid) dan Eurosid II (malvid),
diidentifikasi melalui data molekular (Soltis dkk., 2000). Eurosid I terdiri dari
Celastrales, Cucurbitales, Fabales, Fagales, Zygophyllales,
Malpighiales, Oxalidales dan Rosales. Anak-clade Eurosid II yang lebih sedikit anggotanya
terdiri dari Brassicales, Malvales, Sapindales dan Tapisciaceae.
Asterid
Asterid juga merupakan clade besar yang meliputi sekitar sepertiga dari keseluruhan
Angiospermae, atau sekitar 80.000 jenis tumbuhan dari 114 suku. Kebalikan dari clade lain dalam sistem APG yang kadang
tidak dapat didefinisikan dengan karakter morfologi, orang justru sejak 200
tahun lalu mengenal Asterid melalui karakter morfologi (de Jussieu 1789).
Walaupun tidak seluruhnya identik, anggota clade
Asterid hampir seluruhnya terdiri dari kelompok-kelompok yang dahulu dikenal
sebagai “Sympetalae”; kelompok dengan helai mahkota yang berlekatan dan
membentuk tabung mahkota (corolla tube).
Dalam Asterid terdapat clade
Euasterid I (lamiid), yang oleh Bremer dkk. (2001) didefinisikan sebagai
kelompok dengan daun berhadapan, tepi daun rata, ovarium tenggelam, bunga sympetalus,
tangkai sari yang berlekatan dengan tabung mahkota, dan buah kapsul. Anggota
Eurosid I adalah Garryales, Gentianales, Solanales dan Lamiales (ditambah
Boraginaceae, Vahliaceae dan Oncothecaceae + Icacinaceae; APG II 2003). Clade selanjutnya dalam Asterid adalah
Euasterid II (campanuliid) , yang didefinisikan Bremer dkk. (2001) sebagai
kelompok dengan daun berseling, tepi daun bergerigi, bunga simpetalus yang
epiginus, tangkai sari yang berlepasan dan buah tidak-bengang. Anggota clade Euasterid II adalah Dipsacales,
Aquifoliales, Apiales dan Asterales (ditambah Bruniaceae + Columelliaceae,
Tribelaceae, Polyosmaceae, Escalloniaceae dan Eremosynaceae (Judd dkk., 2002).
Makalah asli APG II (2003) dengan mudah dapat diunduh melalui internet,
misalnya dari: http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/118872219/PDFSTART.
Konsep buku yang akan
disususn dan disajikan merujuk pada sistim klasifikasi filogeni dengan
cladogram berikut;
Gambar. Pohon filogenetik Rekonstruksi kekerabatan
Angiospermae berdasarkan APG II (2003).